ARB FOR PRESIDEN RI KE-7

ARB FOR PRESIDEN RI KE-7
ARB AKAN MEMBANTU SISTEM RUMPUT LAUT DI LIYA

Kamis, 04 Juli 2013

DEMOKRASI DI INDONESIA DALAM KEADAAN BAHAYA

OLEH : LA ODE SARUHU
 
 

Kelemahan yang muncul dalam berbagai proses politik di Republik ini memperkuat dugaan kecenderungan menjauhnya demokrasi kita dari kondisi demokrasi yang terkonsolidasi. Daftar Pemilih Tetap (DPT) yang cacat, munculnya pemilih siluman di pemilihan kepala daerah, dan pelanggaran hukum dalam pemilu yang tidak pernah ditindak serius menjadikan proses demokrasi diragukan kualitas dan integritasnya.

Berbagai kelemahan administratif dalam Pilkada DKI merupakan contoh potret dari buruknya proses demokrasi di Republik ini. Sementara di tingkat nasional, pemilu menghasilkan banyaknya wakil rakyat yang pikirannya dipenuhi oleh nafsu menyunat uang negara.

Para politisi DPR lebih terlihat seperti kucing nakal yang selalu menunggu kelengahan tuannya daripada memerankan salah satu fungsi lembaga legislatif yaitu sebagai pengawas pemerintah. Pemilu tidak menghasilkan pemimpin nasional dan daerah yang sesuai harapan.

Beda Konsep dan Realitas

Kelemahan yang muncul dalam pemilu salah satunya disebabkan oleh ketidak seriusan berbagai pihak. DPT misalnya, terus-menerus menjadi noda yang mengurangi kualitas dan integritas pemilu. Hal ini selalu muncul akibat tidak seriusnya penyelenggara pemilu dalam memutakhirkan data penduduk yang berkualitas buruk. Akibatnya, penyelenggara seakan tidak mampu melakukan perbaikan atas DPT.

Kelemahan lainnya adalah akibat penegakan hukum yang lemah. Penegakan hukum yang lemah diberbagai proses pemilu bagaikan kanker yang menggerogoti hal yang paling mendasar dari setiap proses politik. Karena semakin menguatnya perkembangan negatif ini, secara perlahan, proses politik hanya tinggal tata cara teknis.

Penegakan hukum yang lemah bisa diakibatkan oleh adanya penyelenggara yang lemah. Apa yang dinyatakan Ketua KPU Husni Kamil Malik beberapa waktu lalu bahwa KPU tidak akan melakukan pembatasan dana kampanye pribadi dengan alasan hal itu tidak diatur undang-undang pemilu merupakan aba-aba akan terjerumusnya pemilu pada hanya hal-hal teknis. Terciptanya kontestasi yang berimbang sehingga proses demokrasi tidak ditaklukkan kekuatan uang, termasuk terhindarnya proses demokrasi dari money politics, dianggap tidak penting lagi.

Yang dianggap penting kemudian hanyalah berjalannya tahapan-tahapan pemilu tanpa terlalu mempermasalahkan kualitas proses-proses tersebut. Nilai-nilai seperti kejujuran dan fairness tidak lagi menjadi moral dalam politik. Dalam kondisi seperti ini, yang muncul kemudian adalah tuduh-menuduh tanpa dasar yang menjurus pada fitnah, black campaign, dan money politics.

Demokrasi hanya menjadi sebatas penampakan yang berbeda dari realitas sesungguhnya. Nampak seperti demokrasi padahal yang berjalan adalah transaksi berbasis uang dan oligarki. Berkembangnya demokrasi tidak lagi ditandai berkembangnya sosiabilitas, melainkan ditandai oleh semakin bertambahnya ongkos politik.

Perampok Baru

Dari pemilu yang tidak lagi mengindahkan koridor moralitas dan hukum, hampir dipastikan menghasilkan pemimpin yang juga tidak segan-segan melanggar moralitas dan hukum. Proses politik yang terjadi terlihat seperti menghasilkan pemimpin baru padahal yang terjadi adalah dihasilkannya “perampok” baru.

Setelah pemilu, yang terjadi bukannya perbaikan pemerintahan yang semakin memberikan manfaat bagi rakyat melainkan dimulainya penyalahgunaan kewenangan dan korupsi baru. Alih-alih memanfaatkan kekuasaan untuk kebaikan umum, malah sibuk menggerogoti dan bancakan seperti memberi konsesi untuk donator kampanye, terima suap agar modal dapat kembali, dan kongkalikong menggasak uang negara sembari mengolah citra untuk kepentingan pemilu berikutnya.

Tak heran jika pasca pemilu yang kita lihat adalah DPR yang sibuk menggerogoti sehingga lembaga wakil rakyat berubah fungsi menjadi pusat korupsi. Sedangkan pemerintah sibuk berbedak dan gincu pencitraan. Sementara Di daerah, desentralisasi dan otonomi daerah menjadi tembok yang melindungi kesewenangan dan perilaku korup pemimpin daerah. Setiap lima tahun, Republik dipimpin oleh “perampok-perampok” baru.

Demokrasi yang Dalam Keadaan Bahaya
Demokrasi yang dikuasai uang sesungguhnya merupakan demokrasi yang rentan. Dengan kata lain demokrasi yang dalam keadaan bahaya. Tak heran, dalam Index Demokrasi 2010 yang dikeluarkan The Economist, Republik ini berada dalam kategori flawed Democracy, demokrasi yang memiliki banyak cacat sehingga mudah bergeser ke otoritarian.

Setelah demokrasi terjerumus ke dalam demokrasi uang dimana money politics amat sulit untuk ditindak, yang mudah terlihat adalah tidak adanya kompetisi yang sehat, tidak adanya fairness. Kondisinya semakin parah saat penyelenggara lemah dan terpaku pada teks undang-undang.

Dalam kondisi seperti itu, dengan memakai kriteria Index Demokrasi The Economist, flawed democracy dengan mudah akan terlempar pada kondisi hybrid di mana pelaksanaan prinsip-prinsip demokrasi semakin muram. Akhirnya, demokrasi uang bisa menjerumuskan Republik kembali pada kondisi otoritarian.

Penutup

Kekhawatiran akan semakin terpuruknya Republik sampai akhirnya jatuh ke titik nadir semakin besar setelah mencermati kondisi pemerintahan yang buruk, penuh suap dan korupsi. Selain itu, kinerja ekonomi biasa-biasa saja. Kemiskinan, kesenjangan, dan ketidakadilan semakin mengkhawatirkan.

Kondisi ini diperparah oleh tidak berfungsinya institusi politik. Parlemen dan partai politik abai terhadap fungsinya. Di sisi yang lain, yaitu pemerintah, leadership lemah yang kemudian menghasilkan pemerintahan yang korup, reformasi birokrasi tidak berjalan, remunerasi hanya menghasilkan pegawai berpenghasilan tinggi yang tetap korup.

Akhirnya, pemerintahan semakin tidak transparan dan akuntabel dan tidak memiliki komitmen pada kepentingan publik. Kelemahan pada proses politik menghasilkan elite-elite yang bermental perampok yang pada akhirnya akan membahayakan, tidak hanya demokrasi, melainkan kehidupan bernegara secara keseluruhan. Bandul yang bergerak seperti itu terus mendekatkan Republik pada kondisi negara gagal.

Tidak ada komentar: