Entitas Masyarakat Pemilih Calon Anggota DPRD asal Partai Golkar Kabupaten Wakatobi 9 April 2014
ARB FOR PRESIDEN RI KE-7
ARB AKAN MEMBANTU SISTEM RUMPUT LAUT DI LIYA
Kamis, 04 Juli 2013
DEMOKRASI DI INDONESIA DALAM KEADAAN BAHAYA
OLEH : LA ODE SARUHU
Kelemahan yang muncul dalam berbagai proses politik di Republik ini
memperkuat dugaan kecenderungan menjauhnya demokrasi kita dari kondisi
demokrasi yang terkonsolidasi. Daftar Pemilih Tetap (DPT) yang cacat,
munculnya pemilih siluman di pemilihan kepala daerah, dan pelanggaran
hukum dalam pemilu yang tidak pernah ditindak serius menjadikan proses
demokrasi diragukan kualitas dan integritasnya.
Berbagai
kelemahan administratif dalam Pilkada DKI merupakan contoh potret dari
buruknya proses demokrasi di Republik ini. Sementara di tingkat
nasional, pemilu menghasilkan banyaknya wakil rakyat yang pikirannya
dipenuhi oleh nafsu menyunat uang negara.
Para politisi DPR
lebih terlihat seperti kucing nakal yang selalu menunggu kelengahan
tuannya daripada memerankan salah satu fungsi lembaga legislatif yaitu
sebagai pengawas pemerintah. Pemilu tidak menghasilkan pemimpin nasional
dan daerah yang sesuai harapan.
Beda Konsep dan Realitas
Kelemahan yang muncul dalam pemilu salah satunya disebabkan oleh
ketidak seriusan berbagai pihak. DPT misalnya, terus-menerus menjadi
noda yang mengurangi kualitas dan integritas pemilu. Hal ini selalu
muncul akibat tidak seriusnya penyelenggara pemilu dalam memutakhirkan
data penduduk yang berkualitas buruk. Akibatnya, penyelenggara seakan
tidak mampu melakukan perbaikan atas DPT.
Kelemahan lainnya
adalah akibat penegakan hukum yang lemah. Penegakan hukum yang lemah
diberbagai proses pemilu bagaikan kanker yang menggerogoti hal yang
paling mendasar dari setiap proses politik. Karena semakin menguatnya
perkembangan negatif ini, secara perlahan, proses politik hanya tinggal
tata cara teknis.
Penegakan hukum yang lemah bisa diakibatkan
oleh adanya penyelenggara yang lemah. Apa yang dinyatakan Ketua KPU
Husni Kamil Malik beberapa waktu lalu bahwa KPU tidak akan melakukan
pembatasan dana kampanye pribadi dengan alasan hal itu tidak diatur
undang-undang pemilu merupakan aba-aba akan terjerumusnya pemilu pada
hanya hal-hal teknis. Terciptanya kontestasi yang berimbang sehingga
proses demokrasi tidak ditaklukkan kekuatan uang, termasuk terhindarnya
proses demokrasi dari money politics, dianggap tidak penting lagi.
Yang dianggap penting kemudian hanyalah berjalannya tahapan-tahapan
pemilu tanpa terlalu mempermasalahkan kualitas proses-proses tersebut.
Nilai-nilai seperti kejujuran dan fairness tidak lagi menjadi moral
dalam politik. Dalam kondisi seperti ini, yang muncul kemudian adalah
tuduh-menuduh tanpa dasar yang menjurus pada fitnah, black campaign, dan
money politics.
Demokrasi hanya menjadi sebatas penampakan
yang berbeda dari realitas sesungguhnya. Nampak seperti demokrasi
padahal yang berjalan adalah transaksi berbasis uang dan oligarki.
Berkembangnya demokrasi tidak lagi ditandai berkembangnya sosiabilitas,
melainkan ditandai oleh semakin bertambahnya ongkos politik.
Perampok Baru
Dari pemilu yang tidak lagi mengindahkan koridor moralitas dan hukum,
hampir dipastikan menghasilkan pemimpin yang juga tidak segan-segan
melanggar moralitas dan hukum. Proses politik yang terjadi terlihat
seperti menghasilkan pemimpin baru padahal yang terjadi adalah
dihasilkannya “perampok” baru.
Setelah pemilu, yang terjadi
bukannya perbaikan pemerintahan yang semakin memberikan manfaat bagi
rakyat melainkan dimulainya penyalahgunaan kewenangan dan korupsi baru.
Alih-alih memanfaatkan kekuasaan untuk kebaikan umum, malah sibuk
menggerogoti dan bancakan seperti memberi konsesi untuk donator
kampanye, terima suap agar modal dapat kembali, dan kongkalikong
menggasak uang negara sembari mengolah citra untuk kepentingan pemilu
berikutnya.
Tak heran jika pasca pemilu yang kita lihat adalah
DPR yang sibuk menggerogoti sehingga lembaga wakil rakyat berubah fungsi
menjadi pusat korupsi. Sedangkan pemerintah sibuk berbedak dan gincu
pencitraan. Sementara Di daerah, desentralisasi dan otonomi daerah
menjadi tembok yang melindungi kesewenangan dan perilaku korup pemimpin
daerah. Setiap lima tahun, Republik dipimpin oleh “perampok-perampok”
baru.
Demokrasi yang Dalam Keadaan Bahaya
Demokrasi yang dikuasai
uang sesungguhnya merupakan demokrasi yang rentan. Dengan kata lain
demokrasi yang dalam keadaan bahaya. Tak heran, dalam Index Demokrasi
2010 yang dikeluarkan The Economist, Republik ini berada dalam kategori
flawed Democracy, demokrasi yang memiliki banyak cacat sehingga mudah
bergeser ke otoritarian.
Setelah demokrasi terjerumus ke dalam
demokrasi uang dimana money politics amat sulit untuk ditindak, yang
mudah terlihat adalah tidak adanya kompetisi yang sehat, tidak adanya
fairness. Kondisinya semakin parah saat penyelenggara lemah dan terpaku
pada teks undang-undang.
Dalam kondisi seperti itu, dengan
memakai kriteria Index Demokrasi The Economist, flawed democracy dengan
mudah akan terlempar pada kondisi hybrid di mana pelaksanaan
prinsip-prinsip demokrasi semakin muram. Akhirnya, demokrasi uang bisa
menjerumuskan Republik kembali pada kondisi otoritarian.
Penutup
Kekhawatiran akan semakin terpuruknya Republik sampai akhirnya jatuh ke
titik nadir semakin besar setelah mencermati kondisi pemerintahan yang
buruk, penuh suap dan korupsi. Selain itu, kinerja ekonomi biasa-biasa
saja. Kemiskinan, kesenjangan, dan ketidakadilan semakin
mengkhawatirkan.
Kondisi ini diperparah oleh tidak berfungsinya
institusi politik. Parlemen dan partai politik abai terhadap fungsinya.
Di sisi yang lain, yaitu pemerintah, leadership lemah yang kemudian
menghasilkan pemerintahan yang korup, reformasi birokrasi tidak
berjalan, remunerasi hanya menghasilkan pegawai berpenghasilan tinggi
yang tetap korup.
Akhirnya, pemerintahan semakin tidak
transparan dan akuntabel dan tidak memiliki komitmen pada kepentingan
publik. Kelemahan pada proses politik menghasilkan elite-elite yang
bermental perampok yang pada akhirnya akan membahayakan, tidak hanya
demokrasi, melainkan kehidupan bernegara secara keseluruhan. Bandul yang
bergerak seperti itu terus mendekatkan Republik pada kondisi negara
gagal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar