ARB FOR PRESIDEN RI KE-7

ARB FOR PRESIDEN RI KE-7
ARB AKAN MEMBANTU SISTEM RUMPUT LAUT DI LIYA

Rabu, 26 Juni 2013

"UANG DAN BAHAYA MONEY POLITICS DI PELAKSANAAN PILEG 2014"

 
OLEH : LA ODE SARUHU
 


 
 
 JOHN LOCKE, filsuf dari Inggris pernah membuat sebuah konstruksi hipotetis tentang situasi hidup manusia pada masa lampau. Mulanya, kata Locke, manusia hidup penuh damai, bahagia dan bebas dalam suatu dunia yang disebut state of nature. Tetapi situasi hidup seperti ini berubah terbalik setelah diciptakan uang. Manusia lalu hidup dalam suatu situasi baru yang kacau-balau, penuh dendam, dan saling curiga. Situasi ini oleh Locke disebut state of war.

Tulisan ini tidak berpretensi untuk membuat semacam verifikasi atau pun falsifikasi terhadap hipotesa Locke. Yang mau digarisbawahi di sini adalah soal uang. Uang sebagaimana yang diakui Locke mempunyai pengaruh yang sangat besar dalam kehidupan manusia. Uang bisa mengubah situasi damai menjadi perang, situasi nyaman menjadi rusuh, rukun menjadi saling curiga. Karena uang, yang salah bisa menjadi benar (kendatipun itu hanyalah kebenaran palsu) dan yang benar bisa menjadi salah (kendati itu pun merupakan kesalahan palsu).

Hukum dan keadilan pun bisa gampang dibeli dengan uang. “Kitab undang-undang sering tak terbaca dengan benar ketika setumpuk uang menggantung di jubah keadilan,” tulis Jakob Sumardjo. Singkatnya uang hampir menjadi segalanya bagi manusia. Maka Publilius Syrus pada zaman Romawi Kuno dengan sangat radikal berseru: “Uang membuat dunia ini terus berputar.” Lama sesudah itu baru Goethe menyambung “Maka berkuasalah dewa bumi, yakni uang”. Seruan-seruan seperti ini sebetulnya menjadi abstraksi dari kenyataan hidup manusia dari zaman ke zaman, manusia memiliki kecenderungan besar seperti itu.

Tendensi semacam ini justru ditentang oleh Diogenes, filsuf Yunani. Ia tidak setuju dengan sikap yang mendewa-dewakan uang karena menurutnya, love of money is the mother of all evil (cinta akan uang adalah biang dari segala kejahatan). Kendatipun demikian, Juvenal  ahli retorik dan penyair liris Roma melihat bahwa kecintaan orang terhadap uang dari zaman ke zaman tidak pernah berkurang. Ia menulis: “Crescit amor mummi quantum ipsa pecunia” (Cinta akan uang bertambah sejalan dengan bertambahnya uang itu sendiri). Hal ini dapat dilihat dari kecenderungan manusia untuk menakar segala sesuatu dalam ‘harga’ uang. Waktu misalnya tidak boleh dilewatkan begitu saja tanpa uang karena waktu adalah uang. Time is money. Atau juga badan atau tubuh manusia.

Seorang ahli pernah membuat kalkulasi bahwa dalam tubuh manusia terdapat zat-zat yang kalau diuangkan akan diperoleh kurang lebih $ 40. Dan kalau dipakai untuk keperluan praktis, maka rinciannya adalah seperti berikut: gemuknya cukup untuk membuat 7 potong sabun mandi, zat besi cukup untuk membuat sebuah paku, fosfor cukup untuk membuat 200 anak korek api, dan cukup banyak solfer untuk mematikan kutu-kutu seekor anjing.

Agak keterlaluan memang bahwa badan manusia ditakar dalam jumlah yang begitu gampang dan murah. Tetapi begitulah anak zaman yang gila uang, yang sudah menjadikan uang sebagai center of life-nya sampai-sampai mereka yang tidak mempunyai uang pun mesti berusaha tidur nyenyak supaya bisa mimpi uang.

Uang juga mempunyai pengaruh dalam bidang politik. Eros Djarot, bahkan mengatakan bahwa seni berpolitik dan seni mengelola uang telah menjadi satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Olehnya mereka yang tidak mempunyai uang yang cukup “jangan coba-coba main politik” karena akibatnya fatal; mereka bukannya bertindak sebagai pemain politik tetapi malah bisa menjadi bola mainan politik.

Akhir-akhir ini, persoalan sekitar pemakaian uang untuk keperluan politik eksklusif semakin diperbincangkan. Para kritisi politik melihat bahwa situasi bangsa kita yang sedang mengalami krisis ekonomi yang parah ini telah menjadi momentum yang sangat potensial untuk terjadinya praktek money politics atau politik uang. Di sini mereka yang kaya bisa saja secara tidak wajar memakai uangnya untuk mencapai posisi politik karena sekarang ini rakyat memang sangat membutuhkan uang. Menjelang pemilu ini dikhawatirkan bahwa orang sangat mungkin akan memakai uang untuk membeli suara.

Pembicaraan seputar money politics dan segala konsekwensinya menjadi marak ketika dimunculkan isu bahwa keluarga cendana telah dan sedang membiayai beberapa partai politik. Belakangan Ketua PAN Dr. Amien Rais mempertegas hal tersebut dengan mengatakan bahwa ia pun pernah ditawari untuk mendapatkan dana demi PAN dari keluarga cendana  . Pada saat artikel ini ditulis, banyak orang juga sedang berbicara tentang safari politik yang dilakukan oleh A.A Baramuli. Ketua DPA yang memakai jaket kuning ini dinilai cenderung melakukan money politics karena memberikan sejumlah uang kepada masyarakat di Maluku dan dua ratus kepala desa di SoE, TTS atas nama Golkar 
 
 Tetapi yang kemudian menjadi pertanyaan adalah mengapa money politics dipersoalkan dan ditentang? Bukankah orang bebas memakai kekayaannya untuk kepentingan apa saja termasuk untuk keperluan politik? Orang bisa saja berpikir pendek seperti ini. Tetapi satu hal yang sangat penting yang diperjuangkan di sana adalah soal hak politik masyarakat. Hak politik ini merupakan hal yang sangat mendasar yang tidak boleh dipreteli atau dibonsai oleh siapapun dan dengan apapun. Hak politik ini olehnya, mesti digunakan secara bebas, tanpa ancaman atau paksaan tertentu.

Praktek money politics belakangan ini sebagaimana yang diuraikan di atas semakin dicermati justru karena dinilai dapat mengurangi atau mengganggu kebebasan orang untuk memakai hak politiknya. Apalagi pemberian uang (juga barang-barang lain atau juga jasa tertentu) yang mengatasnamakan golongan atau partai tertentu pada saat di mana perhelatan besar dalam bidang politik sedang terjadi. Masyarakat tahu betul apa artinya suatu pemberian dan menghayati ungkapan ‘do ut des’. Saya beri supaya nanti dia juga beri sesuatu kepada saya sebagai balasannya.

Money politics pada akhirnya menghambat proses demokratisasi politik; suatu hal yang justru sedang diperjuangkan oleh rakyat Indonesia sekarang ini. Nampaknya arah dan praktek demokrasi kita akan kabur dan hanya bertahan pada level formalitas kalau trend-trend money politics dan semacamnya dibiarkan terus berlangsung atau pura-pura ditanggapi secara remeh.

Sekarang kita sedang memulai suatu zaman baru. Namun kita tidak mau kalau zaman ini hanya sekadar nama. “New times demand new measures and new men”, demikian James Russel Lowell, penyair, kritikus dan diplomat Amerika pada dua abad yang lalu. Zaman baru menuntut ukuran-ukran baru dan manusia baru. Manusia baru yang kita maksudkan adalah manusia yang bebas dari kekangan politik tertentu, yang tidak diperbudak oleh siapa dan apapun. Dalam kaitan ini, kita menyambut baik Peraturan Pemerintah (PP) No. 12 Tahun 1999 yang membebaskan pegawai negeri sipil (PNS) dari cengkeraman Golkar.

Semua bentuk partisipasi kita sebagai makhluk beradab, termasuk partisipasi dalam bidang politik pada esensinya adalah untuk mewujudkan diri, harkat dan kemanusiaan kita. Olehnya akan menjadi ironi kalau kita pada satu sisi terlalu mementingkan peran tertentu sambil pada sisi lain menyisihkan apa yang sesungguhnya menjadi tujuan dari semua peran tersebut. Terakhir saya mengutip Themistocles untuk menyadarkan kita bahwa kemanusiaan kita jauh lebih penting dari apapun: “Aku lebih suka manusia tanpa uang daripada uang tanpa kemanusiaan”.

Tidak ada komentar: